PP INKLUSIF

Aktivitas 1. Pendahuluan – Keberagaman Peserta Didik

Setiap hari tentu Anda bertemu dengan banyak peserta didik. Tetapi tahukah Anda bahwa peserta didik yang setiap hari kita temui sangat beragam dalam beberapa aspek. Apakah yang dimaksud dengan keberagaman peserta didik? Bagaimana karakteristik peserta didik berkebutuhan khusus, dan apa saja kebutuhan pembelajaran bagi peserta didik berkebutuhan khusus? Mari bersama-sama menjawab seluruh pertanyaan tersebut dengan mempelajari materi Keberagaman Peserta Didik. Sebelum mempelajari materi Keberagaman Peserta Didik, mari kita saksikan video berikut ini:

Setelah anda menyaksikan video mengenai peserta didik yang beragam di kelas. Tentu terbersit di pikiran Anda bahwa selama ini peserta didik adalah kumpulan individu yang heterogen. Pastinya, karakteristik dan kebutuhan pembelajaran mereka  berbeda satu sama lain. Bahkan ada peserta didik yang memiliki karakteristik dan kebutuhan pembelajaran yang secara signifikan berbeda dengan peserta didik pada umumnya. Untuk memahami hal tersebut, materi Keberagaman Peserta Didik dapat dipelajari dengan seksama. 

Kegiatan pada topik Keberagaman  Peserta Didik terbagi atas beberapa materi meliputi: Konsep Keberagaman Peserta Didik, Karaktersitik Peserta Didik Berkebutuhan Khusus, dan Kebutuhan Pembelajaran Peserta Didik Berkebutuhan Khusus. Anda diminta melakukan serangkaian kegiatan yang akan membantu Anda dalam memahami seluruh materi tersebut. Kegiatan pada topik ini penting  karena akan menjadi dasar bagi Anda dalam memahami konsep dan implementasi pendidikan inklusif.

Untuk lebih memahami materi yang akan Anda pelajari pada topik ini, Anda diharapkan dapat mempelajari setiap tahapan dengan seksama. Sehingga, dalam kegiatan tersebut terjadi transfer pengetahuan yang akan memperkaya pemahaman Anda terkait dengan konsep keberagaman peserta didik, karakteristik peserta didik berkebutuhan khusus, dan kebutuhan pembelajaran peserta didik berkebutuhan khusus

Alur kegiatan setiap topik digambarkan melalui diagram berikut:


Aktivitas 2. Pengertian Keberagaman Peserta Didik

Tahap 1 – Bimtek (Angkatan 2)  Pembelajaran Hari Pertama  Aktivitas 2. Pengertian Keberagaman Peserta Didik

IN PROGRESS

Peserta didik di sekolah secara naluriah adalah kumpulan individu yang beragam. Mereka beragama dalam berbagai aspek mulai dari aspek fisik, aspek sosial-ekonomi, aspek latar belakang budaya dan lain sebagainya. Sebagai seorang guru yang hendak melakukan pengajaran di sekolah inklusif maka perlu untuk memahami makna dari keberagaman peserta didik. 

 

Setelah kita memiliki pemahaman akan makna keberagaman peserta didik, maka langkah selanjutnya adalah mengetahui indikator kualitas hidup mereka untuk dapat kita kembangkan semaksimal mungkin.

Untuk lebih memahami tentang Keberagam Peserta Didik, silakan  unduh dan pelajari materi berikut:

MATERI 1

Konsep Keberagaman Peserta Didik

1. Pengertian Keberagaman Peserta Didik

Keberagaman peserta didik di kelas inklusif memiliki karakteristik tersendiri, baik pada peserta didik reguler maupun pada peserta didik berkebutuhan khusus (PDBK). Keberadaan PDBK dipayungi Undang Undang Dasar 1945 pasal 31, ayat 1 mengamanatkan bahwa; “Setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan” dan ayat 2; “Setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya’. Dengan demikian, peserta didik dalam kelas walaupun berbeda keyakinan, fisik, gender, latar belakang keluarga, harapan, kemampuan, kelebihan peserta didik memiliki hak untuk belajar.

Implementasi di kelas, guru secara perlahan dan pasti memberikan penanaman sikap simpati dan empati kepada peserta didik reguler bahwa dalam masyarakat itu memiliki karakteristik keragaman bentuk, keyakinan, sosial, dan karakter peserta didik berkebutuhan khusus. Dengan demikian, ciptakan suasana kebersamaan dalam berbagai aktivitas agar seluruh peserta didik membaur dan saling interaksi, sehingga akan tampak mereka bersosialisasi dan saling tolong menolong antar sesama.

Begitupun gurunya untuk mencapai tujuan pembelajaran dengan baik, harus memahami berbagai perbedaan. Setiap individu memiliki karakteristik sendiri, baik dalam gaya belajar atau kemampuan mengaktulisasikan berbagai kemampuan dan keterampilannya, misalnya perbedaan jender. Murid laki-laki memiliki karakteristik yang berbeda dengan murid perempuan. Misalnya, cara berpikir siswa laki-laki berbeda dengan murid perempuan. Namun, tidak menutup kemungkinan karakteristik jender dapat dipertukarkan.

Perbedaan mereka tampak dari kekuatan fisik, perkembangan psikoseksual, minat belajar pada bidang berlainan, ketekunan, ketelitian, kecenderungan metode pembelajaran yang lebih sesuai untuk masing-masing jenis kelamin, dan seterusnya. Ada kemungkinan murid perempuan sangat berminat dalam bidang olah raga, sedangkan murid laki-laki sangat menyukai pelajaran tata boga. Seorang guru perlu mengenali keunggulan siswa tanpa harus melakukan stereotip jender.

Dengan demikian, guru sangat penting memberikan wawasan kepada peserta didik bahwa masyarakat majemuk tradisional perlu mempertimbangkan adanya pluralitas horizontal (adanya perbedaan etnik, sub-sub etnik) dan pluralitas vertical (adanya pelapisan-pelapisan sosial).

Penamaan istilah “peserta didik” kepada siswa di sekolah dewasa ini sudah tepat, mengingat cara pandang ini yang lebih positif dibanding dengan istilah “murid atau siswa”. Hal ini, kata “peserta didik” dapat mengakomodasi keberagaman peserta didik dalam melihat kebutuhannya.

Gambar 1: Kebersamaan kegiatan proses belajar

mengajar antaranak reguler dan berkebutuhan khusus

Sumber: https://www.kompasiana.com

Gambar 2: Menanamkannrasa simpati dan

empati kepada peserta didik korban bencana

Sumber: http://mimbarrakyatnews.com 


Konsep Keberagaman Peserta Didik

 

Gambar 3: Kebersamaan kegiatan ekstrakurikuler

antaranak reguler dan berkebutuhan khusus

Sumber: https://kumparan.com

Gambar 4: Kebersamaan dan keceriaan

senantiasa ditanmkan di kelas inklusif

Sumber: https://www.indonesiana.id


 

Gambar 5: Kebersamaan dan berbagi dengan anak-anak jalanan di kelas inklusif

Sumber: https://www.kaltengpos.co 

Gambar 6: Ciptakan aktivitas bersaman dalam menumbuhkan sikap toleran di kelas inklusif Sumber: https://www.websitependidikan.com 

 

Kata “kebutuhan khusus” menjadi dasar dalam melihat apa yang menjadi masalah dan kebutuhan peserta didik dan bukan pada label yang menyertainya. Oleh karena itu, guru hendaknya memandang setiap Peserta Didik Berkebutuhan Khusus (PDBK) memiliki karakteristik unik. Karakteristik PDBK ini berkaitan dengan bagaimana cara terbaik dalam memenuhi kebutuhan khususnya. Pandangan ini akan menuntun guru dalam menyusun akomodasi program untuk mengatasi hambatan dan mengoptimalkan potensi peserta didik.

Dengan demikian, upaya-upaya pemberian layanan pendidikan terhadap PDBK hendaknya berfokus pada potensi-potensi yang dapat dikembangkan melalui pengamatan guru secara berkesinambungan dan sistematik dalam proses identifikasi dan asesmen

Gambar 7: Kebersamaan antarpeserta didik

.Sumber: https://karawangtoday.com


Hal ini, sejalan dengan Permendiknas No 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru bahwa dalam Kompetensi Paedagogik Guru salah satunya adalah memahami krakteristik peserta didik maka diharapkan sebelaum melakukan pembelajaran setiap guru dapat melakukan identifikasi dan asesmen. Hal ini untuk dijadikan sebagai dasar dalam memenuhi kebutuhan belajar peserta didik.

2. Indikator Kualitas Hidup Peserta Didik

Kebearagaman peserta didik di sekolah inlklusif adalah suatu kenyataan yang untuk dibuat sebagai “sesuatu yang aneh” akan tetapi keberagaman peserta didik tersebut harus menjadi sebuah “tantangan” bagi guru untuk memberikan layanan pembelajaran akomodatif bagi setiap peserta didik. Peserta didik reguler maupun peserta didik berkebutuhan khusus memiliki hak yang sama untuk memperoleh layanan pembelajaran dalam upaya mencapai kualitas hidup.

Ada empat indikator kualitas hidup bagi setaip peserta didik, yakni sebagai berikut:

  1. To Live, setiap peserta didik di sekolah inklusif memilki hak untuk hidup mengembangkan potensi dirinya, tanpa harus terhalangi atau dibatasi oleh kondisi hambatan yang dimilikinya. Peserta didik berkebutuhan khusus di sekolah inklusif tidak boleh dibiarkan hanya sebagai “pelengkap kuota kelas inklusif”, tetapi keberadaan peserta didik di kelas inklusif harus menjadi tantangan bagi guru untuk berkreatif dalam mengembangkan layanan pembelajaran akomodatif.

  2. To Love, setiap peserta didik di sekolah inklusif harus merasa terlindungi, mengikuti kegiatan pembelajaran dan aktivitas sekolah lainnya secara ramah, nyaman dan tidak dibiarkan mendapat bully dari peserta didik lainnya. Bahkan guru harus mengembangkan sikap saling menyayangi, mencintai sebagai sesama warga sekolah.

  3. To Play, setiap peserta didik di sekolah inklusif harus memperoleh kesempatan yang sama untuk mengikuti aktivitas belajar secara aktif dan bermain di sekolah, seperti dalam diskusi kelompok, kegiatan ekstrakurikuler, dan perlombaan yang diadakan sekolah. Peserta didik berkebutuhan khusus harus memperoleh hak yang sama untuk memperoleh kesempatan aktivitas permainan di kelas dan lingkungan sekolah.

  4. To Work, setiap peserta dididk di sekolah inklusif memperoleh hak yang sama untuk mengembangkan dirinya dalam upaya mengembangkan potensi dirinya untuk nantinya menjadi individu yang mandiri dalam memasuki dunia kerja. Peserta didik berkebutuhan khusus tidak boleh dihadirkan di kelas hanya sebagai “pelengkap penderita” akan tetapi harus diberikan layanan pendidikan yang mengakomodasi kebutuhan layanan pendidikannya.

 

Aktivitas 3. Karakteristik Peserta Didik Berkebutuhan Khusus

Tahap 1 – Bimtek (Angkatan 2)  Pembelajaran Hari Kedua  Aktivitas 3. Karakteristik Peserta Didik Berkebutuhan


Khusus

Keberagaman peserta didik secara umum terbagi atas tiga klasifikasi besar yaitu: (1) peserta didik reguler; (2) peserta didik berkebutuhan khusus; dan (3) peserta didik berkebutuhan layanan khusus. Peserta didik reguler adalah peserta didik yang tidak memiliki hambatan tertentu, misalnya hambatan fisik, mental kognitif, sensorik dan hambatan lainnya yang menyebabkan mereka mengalami kendala dalam mengikuti pembelajaran secara klasikal.

Peserta didik berkebutuhan khusus adalah peserta didik yang memiliki hambatan tertentu, seperti hambatan penglihatan, hambatan pendengaran, hambatan intelektual, hambatan fisik, hambatan dengan autistik, dan hambatan lainnya seperti anak hiperaktif, lamban belajar, rendah konsentrasi dan gangguan perilaku tertentu.

Peserta didik berkebutuhan layanan khusus adalah peserta didik yang mengalami hambatan secara eksternal, seperti anak korban bencana alam, anak korban HIV, anak korban kekerasan rumah tangga dan lingkungan. Adapun peserta didik berkebutuhan khusus memiliki karakteristik spesifik yang perlu kita pahami. 

Untuk lebih memahami tentang Karakteristik Peserta Didik Berkebutuhan Khusus, Silakan unduh dan pelajari materi berikut, klik tombol di bawah ini












MATERI 2

KARAKTERISTIK PESERTA DIDIK BERKEBUTUHAN KHUSUS

1. Anak Berkebutuhan Khusus dengan Hambatan Sensorik

Anak berkebutuhan khusus dikelompokkan sesuai dengan jenis hambatan yang dialami. Anak berkebutuhan khusus menurut Gunawan (2011) yaitu sebagai berikut. 

a. Anak dengan Hambatan Penglihatan (Tunanetra)

Anak dengan hambatan penglihatan menurut Gunawan (2011) adalah anak yang mengalami gangguan daya penglihatan sedemikian rupa, sehingga membutuhkan layanan, khusus dalam pendidikan maupun kehidupannya. Dilihat dari sisi kependidikan dan rehabilitasi peserta didik hambatan penglihatan adalah mereka yang memiki hambatan penglihatan sehingga menghalangi dirinya untuk berfungsi dalam pendidikan dan aktifitas rehabilitatif tanpa menggunakan alat khusus, material khusus, latihan khusus, dan atau bantuan lain secara khusus.

Klasifikasi gangguan penglihatan berdasarkan tingkat ketajaman penglihatan dan dalam perspektif pendidikan menurut Gunawan (2011) dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok low vision dan hambatan penglihatan total (Totally Blind).

  1. Low vision. 

Kelompok ini adalah kelompok hambatan penglihatan yang masih mampu melihat dengan ketajaman penglihatan (acuity) 20/70. Kelompok ini mampu melihat dari jarak 6 meter, jauh lebih dekat dibandingkan dengan pelihatan orang normal (21 meter). Gambaran umum dari kelompok ini, mereka masih mampu mengenal bentuk objek dari berbagai jarak, menghitung jari dari berbagai jarak.

  1. Hambatan penglihatan total. 

Peserta didik dikatakan memiliki hambatan penglihatan secara total mereka yang tidak bisa memfungsikan kemampuan visualnya tidak memiliki penglihatan atau pun mereka yang bisa merasakan adanya sinar seperti mengetahui siang dan malam tanpa mengetahui sumber cahayanya. 

Akibat dari adanya hambatan ini peserta didik diajarkan untuk memahami kemampuan membaca dan menulis braille dan orientasi mobilitas (OM) untuk membantu mereka dalam menjalankan daily activities..

Gambar 9: PBDK Low Vision Gambar 10: PBDK totally blind Sumber: https://gayahidup.republika.co.id Sumber: http://muhamad-abdorin.blogspot.com 

b. Anak dengan Hambatan Pendengaran (Tunarungu)

Banyak istilah yang digunakan untuk menggambarkan seseorang yang mengalami kehilangan/gangguan pendengaran. Salah satunya menurut Nakata dalam Rahardja (2006) yang mengungkapkan bahwa anak dengan hambatan pendengaran atau anak tunarungu adalah mereka yang mempunyai kemampuan mendengar di kedua telinganya hampir di atas 60 desibel, yaitu mereka yang tidak mungkin atau kesulitan secara signifikan untuk memahami suara pembicaraan normal meskipun dengan mempergunakan alat bantu dengar atau alat- alat lainnya. 

Tunarungu merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan keadaan kehilangan pendengaran yang dialami seseorang. Dalam bahasa Inggris terdapat istilah hearing impairment, istilah ini menggambarkan adanya kerusakan atau gangguan secara fisik.

 

Gambar 11: PDBK mengenakan hearing aid Gambar 12: PDBK di sekolah inklusif

Sumber: http://zonagurumillenial.blogspot.com Sumber: https://regional.kompas.com

Akibat dari adanya kerusakan itu akan mengakibatkan gangguan pada fungsi pendengaran. Anak mengalami kesulitan untuk memperoleh dan mengolah informasi yang bersifat auditif, sehingga dapat menimbulkan hambatan dalam melakukan interaksi dan komunikasi secara verbal.

Pengelompokkan (klasifikasi) bagi anak yang mengalami hambatan pendengaran yang saat ini digunakan pada umumnya menurut Kirk (dalam Depdikbud, 1995:29) dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

  1. 0 dB Menunjukkan pendengaran yang optimal.

  2. 0 26 dB Menunjukkan seseorang masih mempunyai pendengaran yang normal.

  3. 27 40 dB Mempunyai kesulitan mendengar bunyi-bunyi yang jauh, membutuhkan tempat duduk yang strategis letaknya dan memerlukan terapi bicara (tergolong tunarungu ringan).

  4. 41 55 dB Mengerti bahasa percakapan, tidak dapat mengikuti diskusi kelas, membutuhkan alat bantu dengar dan terapi bicara (tunarungu sedang).

  5. 56 – 70 dB Hanya bisa mendengar suara dari jarak yang dekat, masih mempunyai sisa pendengaran untuk belajar bahasa dan bicara dengan menggunakan alat bantu mendengar serta dengan cara yang khusus (tunarungu agak berat).

  6. 71- 90 dB Hanya bisa mendengar bunyi yang sangat dekat, kadang – kadang dianggap tuli, membutuhkan pendidikan luar biasa yang intensif, membutuhkan alat bantu dengar dan latihan bicara secara khusus (tunarungu berat).

  7. 91 dB ke atas mungkin sadar akan adanya bunyi atau suara dan getaran, banyak bergantung pada penglihatan daripada pendengaran untuk proses menerima informasi dan yang bersangkutan dianggap tuli (tunarungu berat sekali)

Menurut Moores dalam Alimin (2007) menjelaskan bahwa anak mengalami disability dalam berkomunikasi akibat dari kehilangan fungsi pendengaran (impairment). Istilah hearing impairment diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi istilah tunarungu, yang di dalamnya terkandung dua kategori yaitu yang disebut dengan deaf dan hard of hearing.

Moores (1982:6) menjelaskan “tuli” adalah mereka yang memiliki ketidakmampuan mendengar dalam tingkat 70 dB ISO atau lebih, sehingga tidak mengerti pembicaraan orang lain mengakibatkan kesulitan dalam memproses informasi bahasa melalui pendengarannya sehingga ia tidak dapat memahami pembicaraan orang lain dengan memakai maupun tidak memakai alat bantu dengar (hearing aid). Adapun orang yang “kurang dengar” adalah mereka yang memiliki ketidakmampuan dengar dalam tingkat 35 sampai 69 dB.

Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa gangguan pendengaran (tuli atau kurang dengar) tunarungu adalah mereka yang tidak mendengar atau kurang mendengar sebagai akibat pendengarannya yang terganggu fungsi indera pendengarannya baik menggunakan alat bantu dengar maupun tidak. Namun demikian, mereka masih tetap memerlukan layanan pendidikan khusus karena gangguan pendengaran berdampak pada aspek-aspek di bawah ini.

  1. Aspek Motorik

Anak tunarungu yang tidak memiliki kecacatan lain dapat mencapai tugas- tugas perkembangan motorik (early major motor milestones), seperti duduk, merangkak, berdiri dengan tanpa bantuan, dan berjalan sama seperti yang terjadi pada anak yang mendengar (Preisler dalam Alimin, 2007). Namun demikian, beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa anak dengan hambatan pendengaran memiliki kesulitan dalam hal keseimbangan dan koordinasi gerak umum, dalam menyelesaikan tugas-tugas yang memerlukan kecepatan serta gerakan-gerakan yang kompleks (Ittyerah, Sharma, dalam Alimin, 2007).

  1. Aspek bicara dan bahasa

Keterampilan berbicara dan bahasa merupakan bidang perkembangan yang paling banyak dipengaruhi oleh hambatan pendengaran. Khususnya anak dengan hambatan pendengaran dibawa sejak lahir. Menurut Rahardja (2006) bagi anak dengan hambatan pendengaran congenital atau berat, suara yang keras tidak dapat didengarnya meskipun dengan menggunakan alat bantu dengar. Individu tersebut tidak dapat menerima informasi melalui suara, tetapi mereka sebaiknya belajar bahasa bibir. Suara yang dikeluarkan oleh anak dengan hambatan pendengaran biasanya sering sulit untuk dimengerti karena mereka mengalami kesulitan dalam membeda-bedakan artikulasi, kualitas suara, dan tekanan suara.

2. Anak dengan Hambatan Mental Kognitif 

a. Anak dengan Hambatan Intelektual (Tunagrahita)

Menurut Gunawan (2011) anak mengalami hambatan intelektual adalah anak yang secara nyata mengalami hambatan dan keterbelakangan perkembangan mental-intelektual di bawah rata-rata, sehingga mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tugas-tugasnya. Mereka memerlukan layanan pendidikan khusus. Anak mengalami hambatan intelektual ialah anak yang mempunyai kemampuan intelektual di bawah rata-rata. Berbagai istilah yang dikemukakan mengenai anak mengalami hambatan intelektual, selalu menunjuk pada keterhambatan fungsi kecerdasan secara umum berada di bawah usia kronologisnya secara meyakinkan sehingga membutuhkan layanan pendidikan khusus.

 

Gambar 13: PDBK Tunagarihita Gambar 14: PDBK Tunagraihita

Sumber:https://slbputraidhata.wordpress.co Sumber:https://malangvoice.com

m

Potensi dan kemampuan setiap anak anak mengalami hambatan intelektual berbeda-beda, maka untuk kepentingan pendidikan diperlukan pengelompokkan anak mengalami hambatan intelektual. Pengelompokkan itu berdasarkan berat ringannya ketunaan, atas dasar itu anak tungrahita dapat dikelompokkan.

  1. Hambatan Intelektual Ringan

Anak mengalami hambatan intelektual ringan umumnya memiliki kondisi fisik yang tidak berbeda. Mereka mempunyai IQ antara kisaran 50 s/d 70 dan juga termasuk kelompok mampu didik, mereka masih bisa dididik (diajarkan) membaca, menulis dan berhitung, anak anak mengalami hambatan intelektual ringan biasanya bisa menyelesaikan pendidikan setingkat kelas IV SD Umum.

  1. Hambatan Intelektual Sedang

Anak anak mengalami hambatan intelektual sedang termasuk kelompok latih. Kondisi fisiknya sudah dapat terlihat, tetapi ada sebagian anak mengalami hambatan intelektual yang mempunyai fisik normal. Kelompok ini mempunyai IQ antara 30 s/d 50. Mereka biasanya menyelesaikan pendidikan setingkat kelas 2 SD Umum.

  1. Hambatan Intelektual Berat

Kelompok ini termasuk yang sangat rendah intelegensinya tidak mampu menerima pendidikan secara akademis. Anak anak mengalami hambatan intelektual berat termasuk kelompok mampu rawat, IQ mereka rata-rata 30 ke bawah. Dalam kegiatan sehari-hari mereka membutuhkan bantuan orang lain.

Hambatan intelektual mengacu pada intelektual umum yang secara signifikan berada di bawah rata-rata. Anak mengalami hambatan intelektual mengalami hambatan dalam tingkah laku dan penyesuaian diri. Semua gangguan tersebut berlangsung atau terjadi pada masa perkembangannya. Lebih lanjut, Gunawan (2011) mengemukakan bahwa seseorang dikatakan anak mengalami hambatan intelektual apabila memiliki tiga indikator, yaitu:

  1. keterhambatan fungsi kecerdasan secara umum atau di bawah rata- rata;

  2. ketidakmampuan dalam prilaku sosial/adaptif; dan

  3. hambatan perilaku sosial/adaptif terjadi pada usia perkembangan yaitu sampai dengan usia 18 tahun.

Klasifikasi anak mengalami hambatan intelektual secara sosial-psikologis terbagi dua kriteria, yaitu: psikometrik dan perilaku adaptif. Ada empat taraf anak mengalami hambatan intelektual berdasarkan psikometrik (skor IQ- nya).


Tabel. 1 Tingkat Kecerdasan (IQ anak mengalami hambatan intelektual)

Klasifikasi

IQ

Mental Age

(MA)

(Tahun)

Stanford Binet (SB)

Skala Weschler

(WISC)

Ringan (mild mental retardation)

68-52

69-55

8,3-10,9

Sedang (moderate mental retardation)

51-36

54-40

5,7-8,2

Berat (severe mental retardation)

35-20

39-25

3,2-5,6

Parah (profound mental retardation)

> 19

> 24

> 3,1

Sumber: http://repository.upi.edu/operator/

Penggolongan anak anak mengalami hambatan intelektual menurut kriteria perilaku adaptif tidak berdasarkan taraf intelegensi, tetapi berdasarkan kematangan sosial. Hal ini juga mempunyai empat taraf, yaitu ringan, sedang, berat, dan sangat berat. Secara umum dampak dari gangguan intelektual dapat dilihat pada ciri-ciri sebagai berikut.

  1. Lamban dalam mempelajari hal-hal baru, mempunyai kesulitan dalam mempelajari konsep yang abstrak, dan selalu cepat lupa apa yang di pelajari apabila tanpa latihan terus menerus.

  2. Kesulitan dalam menggeneralisasi dan mempelajari hal-hal yang baru.

  3. Kemampuan bicaranya sangat kurang bagi anak mengalami hambatan intelektual berat.

  4. Cacat fisik dan perkembangan gerak. Anak mengalami hambatan intelektual berat mempunyai keterbatasan dalam gerak fisik, ada yang tidak dapat berjalan, tidak dapat berdiri atau bangun tanpa bantuan. Mereka lambat dalam mengerjakan tugas-tugas yang sangat sederhana, sulit menjangkau sesuatu, dan mendongakkan kepala.

  5. Kurang dalam kemampuan menolong diri sendiri. Sebagian dari anak mengalami hambatan intelektual berat sangat sulit untuk mengurus diri sendiri, seperti; berpakaian, makan, mengurus kebersihan diri. Mereka selalu memerlukan latihan khusus untuk mempelajari kemampuan dasar.

  6. Tingkah laku dan interaksi yang tidak lazim. Anak mengalami hambatan intelektual ringan dapat bermain bersama dengan anak reguler, tetapi anak yang mempunyai anak mengalami hambatan intelektual berat tidak melakukan hal tersebut. Hal itu mungkin disebabkan kesulitan bagi anak mengalami hambatan intelektual dalam memberikan perhatian terhadap lawan main.

  7. Tingkah laku kurang wajar yang terus menerus. Banyak anak mengalami hambatan intelektual berat bertingkah laku tanpa tujuan yang jelas.

3. Anak dengan Hambatan Fisik

a. Anak dengan Hambatan Anggota Gerak (Tunadaksa)

Ada berbagai macam definisi tentang anak yang mengalami gangguan gerak, tergantung dari siapa dan sudut mana melihatnya. Nakata (2003) dalam Djadja R, (2006) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan gangguan gerak adalah:

  1. Mereka yang tingkat kecacatan fisiknya mengakibatkan mereka mengalami kesulitan yang berat atau ketidakmungkinan melakukan gerak dasar dalam kehidupan sehari-hari seperti berjalan dan menulis meskipun dengan memgunakan alat-alat bantu pendukung.

  2. Mereka yang tingkat kecacatan fisiknya tidak lebih dari nomor 1 di atas yang selalu memerlukan observasi dan bimbingan medis.

Anak gangguan gerak, dilihat dari persentase anak berkebutuhan khusus yang lain, termasuk kelompok yang jumlahnya relatif kecil yaitu diperkirakan 0,06% dari populasi anak usia sekolah. Sedangkan jenis kelainannya bermacam-macam dan bervariasi, sehingga permasalahan yang dihadapi sangat kompleks. 

Pada dasarnya anak gangguan gerak dikelompokkan menjadi dua bagian besar, yaitu (1) Kelainan pada sistem serebral (cerebral system) dan (2) kelainan pada sistem otot dan rangka (musculus skeletal system). Adapun yang termasuk kelompok pertama, seperti cerebral palsy yang meliputi jenis spastic, athetosis, rigid, hipotonia, tremor, ataxia, dan campuran.

Sedangkan yang termasuk pada kelompok kedua, seperti poliomyelitis, muscle dystrophy dan spina bifida. Sedangkan anak anak yang mengalami kelumpuhan yang dikarenakan kerusakan pada otot motorik yang sering diderita oleh anak-anak pasca polio dan muscle dystrophy lain mengakibatkan gangguan motorik terutama gerakan lokomosi, gerakan ditempat, dan mobilisasi. Ada sebagian anak dengan gangguan gerak yang berat, ringan, dan sedang. Untuk berpindah tempat perlu alat ambulasi, juga perlu alat bantu dalam memenuhi kebutuhannya, yaitu memenuhi kebutuhan gerak.


Gambar 18: Sekolah Inklusi Bisa Menumbuhkan Sikap Toleransi Antara Murid

Sumber: https://nasional.okezone.com 

Gambar 17: Anak yang mengalami poliomyelitis Sumber: https://www.pattayamail.com 



4. Anak dengan Hambatan Lainnya

a. Anak dengan Gangguan Perilaku dan Emosi

Menurut Gunawan (2011) anak dengan gangguan perilaku adalah anak yang berperilaku menyimpang baik pada taraf sedang, berat dan sangat berat, terjadi pada usia anak dan remaja, sebagai akibat terganggunya perkembangan emosi dan sosial atau keduanya, sehingga merugikan dirinya sendiri maupun lingkungan, maka dalam mengembangkan potensinya memerlukan pelayanan dan pendidikan secara khusus.

Di dalam dunia Pendidikan Khusus dikenal dengan nama anak hambatan perilaku dan emosi (behavioral disorder). Kelainan tingkah laku ditetapkan bila mengandung unsur:

  1. Tingkah laku anak menyimpang dari standar yang diterima umum.

  2. Derajat penyimpangan tingkah laku dari standar umum sudah ekstrim.

  3. Lamanya waktu pola tingkah laku itu dilakukan.

Secara umum anak hambatan perilaku dan emosi (anak yang mengalami gangguan emosi dan perilaku) memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

  1. Cenderung membangkang.

  2. Mudah terangsang emosinya/emosional/mudah marah.

  3. Sering melakukan tindakan agresif, merusak, mengganggu.

  4. Sering bertindak melanggar norma sosial/norma susila/hukum.

  5. Cenderung prestasi belajar dan motivasi rendah sering bolos jarang masuk sekolah.

b. Anak Autis

Autisme berdasarkan Individuals with Disabilities Education (IDEA) yang dikutip oleh Rahardja (2006) adalah kelainan perkembangan yang secara signifikan berpengaruh terhadap komunikasi verbal dan non verbal serta interaksi sosial, umumnya terjadi pada usia sebelum tiga tahun, yang berpengaruh buruk terhadap kinerja pendidikan anak.

Karakteristik yang lain sering menyertai autisme seperti melakukan kegiatan yang berulang-ulang dan gerakan stereotip, penolakan terhadap perubahan lingkungan atau perubahan dalam rutinitas sehari- hari, dan memberikan respon yang tidak semestinya terhadap pengalaman sensori. Secara umum anak autis memiliki karakteristik sebagai berikut.

1) Mengalami hambatan di dalam bahasa.

2) Kesulitan dalam mengenal dan merespon emosi dengan isyarat sosial.

3) Kekakuan dan miskin dalam mengekspresikan perasaan.

4) Kurang memiliki perasaan dan empati.

5) Sering berperilaku di luar kontrol dan meledak-ledak.

6) Secara menyeluruh mengalami masalah dalam perilaku.

7) Kurang memahami akan keberadaan dirinya sendiri.

8) Keterbatasan dalam mengekspresikan diri

9) Berperilaku monoton dan mengalami kesulitan untuk beradaptasi dengan lingkungan.

Dalam dunia pendidikan, anak autis ini dapat digolongkan ke dalam beberapa spektrum, yaitu sebagai berikut.

(a) Anak autis yang memiliki fungsi kognisi dan intelektual tingkat tinggi. (High function children with autism).

(b) Anak autis yang memiliki fungsi kognisi dan intelektual tingkat menengah (Middle function children with autism).

(c) Anak autis yang memiliki fungsi kognisi dan intelektual tingkat rendah (Low function children with autism).

c. Anak Cerdas Istimewa Berbakat Istimewa

Anak yang memiliki potensi kecerdasan istimewa (gifted) dan anak yang memiliki bakat istimewa (talented) adalah anak yang memiliki potensi kecerdasan (intelegensi), kreativitas, dan tanggung jawab terhadap tugas (task commitment) di atas kemampuan anak-anak seusianya (anak normal), sehingga untuk mengoptimalkan potensinya, diperlukan pelayanan pendidikan khusus. Anak cerdas dan berbakat istimewa disebut sebagai gifted & talented children (Dudi Gunawan, 2011). 

Anak-anak berbakat istimewa secara alami memiliki karakteristik yang khas yang membedakannya dengan anak-anak normal. Karakteristik ini mencakup beberapa domain penting, termasuk di dalamnya: domain intelektual-koginitif, domain persepsi-emosi, domain motivasi dan nilai- nilai hidup, domain aktifitas, serta domain relasi sosial.

Berikut beberapa karakteristik yang paling sering diidentifikasi terdapat pada anak berbakat istimewa pada masing-masing domain di atas. Namun demikian perlu dicatat bahwa tidak semua anak-anak berbakat istimewa (gifted) selalu menunjukkan atau memiliki karakteristik intelektual-kognitif seperti di bawah ini (Gunwan, 2011):

  1. Menunjukkan atau memiliki ide-ide yang orisinal, gagasan-gagasan yang tidak lazim, pikiran-pikiran kreatif.

  2. Mampu menghubungkan ide-ide yang nampak tidak berkaitan menjadi suatu konsep yang utuh.

  3. Menunjukkan kemampuan bernalar yang sangat tinggi.

  4. Mampu menggeneralisasikan suatu masalah yang rumit menjadi suatu hal yang sederhana dan mudah dipahami.

  5. Memiliki kecepatan yang sangat tinggi dalam memecahkan masalah.

  6. Menunjukkan daya imajinasi yang luar biasa.

  7. Memiliki perbendaharaan kosakata yang sangat kaya dan mampu mengartikulasikannya dengan baik.

  8. Biasanya fasih dalam berkomunikasi lisan, senang bermain atau merangkai kata-kata.

  9. Sangat cepat dalam memahami pembicaraan atau pelajaran yang diberikan.

  10. Memiliki daya ingat jangka panjang (long term memory) yang kuat.

  11. Mampu menangkap ide-ide abstrak dalam konsep matematika dan/atau sains.

  12. Memiliki kemampuan membaca yang sangat cepat.

  13. Banyak gagasan dan mampu menginspirasi orang lain.

  14. Memikirkan sesuatu secara kompleks, abstrak, dan dalam.

  15. Mampu memikirkan tentang beragam gagasan atau persoalan dalam waktu yang bersamaan dan cepat mengaitkan satu dengan yang lainnya.

d. Kesulitan Belajar Spesifik (Disleksia, Diskalkulia, Disgrafia)

Anak yang mengalami learning disabilities (LD) atau Specific Learning Diificulties (SLD) secara umum dapat diartikan suatu kesulitan belajar pada anak yang ditandai oleh ketidakmampuan dalam mengikuti pelajaran sebagaimana mestinya dan berdampak pada hasil akademiknya. Kesulitan belajar merupakan hambatan atau gangguan belajar pada anak atau remaja yang ditandai adanya kesenjangan yang signifikan antara taraf intelegensi dan kemampuan akademik yang seharusnya dicapai oleh anak seusianya.

Anak LD atau SLD adalah masalah belajar primer yang disebabkan karena adanya deficit atau kekurangan fungsi dalam satu atau lebih area inteligensi. Penyebabnya gangguan neurologis dan genetik. Istilah LD atau SLD hanya dikenakan pada anak-anak yang mempunyai inteligensia normal hingga tinggi. Gangguan ini merupakan gangguan yang kasat mata, berupa kesalahan dalam hal membaca (disleksia), menulis (disgrafia), dan berhitung (diskalkulia). Kesalahan yang terjadi akan selalu dalam kesalahan sama secara terus menerus, dan dibawa seumur hidup (long live disabilities). Adapun karakteristiknya dapat diidentifikasi dari hal-hal berikut ini.

PDBK yang mengalami kesulitan membaca (disleksia)

  1. Perkembangan kemampuan membaca terlambat,

  2. Kemampuan memahami isi bacaan rendah,

  3. Kalau membaca sering banyak kesalahan

PDBK yang mengalami kesulitan belajar menulis (disgrafia)

  1. Kalau menyalin tulisan sering terlambat selesai,

  2. Sering salah menulis huruf b dengan p, p dengan q, v dengan u, 2 dengan5, 6 dengan 9, dan sebagainya, 

  3. Hasil tulisannya jelek dan tidak terbaca,

  4. Tulisannya banyak salah/terbalik/huruf hilang,

  5. Sulit menulis dengan lurus pada kertas tak bergaris. 


PDBK yang mengalami kesulitan belajar berhitung (diskalkulia)

  1. Sering salah menulis angka 2 dengan 5, 6 dengan 9, dan sebagainya

  2. Rancu atau bingung dengan simbol-simbol matematis. Misalnya tanda +, -, x, :, dan sebagainya.




Komentar