Resume Qur'an Hadits KB-3
PENDALAMAN MATERI
(Lembar Kerja Resume Modul)
A.
Judul Modul : Pendekatan Dan
Metode Penafsiran Al-Qur’an
B.
Kegiatan Belajar : KB 3
C.
Refleksi
NO |
BUTIR
REFLEKSI |
RESPON/JAWABAN |
1 |
Peta Konsep (Beberapa
istilah dan definisi) di modul bidang studi |
1.
Tafsir bi al-Ma’tsur adalah
pendekatan yang digunakan dalam menafsirkan Alquran yang didasarkan kepada
penjelasan-penjelasan yang diperoleh melalui riwayat-riwayat pada sunnah,
hadis maupun atsar, termasuk ayat-ayat Alquran yang lain. Oleh karena itu,
tafsir bi al-ma’tsur disebut juga tafsir bi al-riwayah. 2.
Penafsiran ayat dengan ayat
Alquran yang lain Suatu ayat dapat ditafsirkan dengan ayat yang lain, baik
ayat itu kelanjutan dari ayat yang ditafsirkan ataupun ayat yang menafsirkan
berada di surat yang lain. Misalnya pada surat al-Ikhlas ayat pertama yang
menjelaskan tentang ketauhidan Allah Swt, ditafsirkan oleh ayat berikutnya,
yaitu ayat kedua, ketiga dan keempat. Namun ayat pertama surat al-Ikhlas
tentang ketauhidan ini dapat ditafsirkan lagi oleh ayat yang lain yang berada
di surat yang lain. Misalnya surat al Hasyr (QS 59;22-24) yang menjelaskan
sifat-sifat Allah Swt: Artinya: “Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Yang
Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dialah Yang Maha Pemurah lagi Maha
Penyayang(22) Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, Yang Maha Suci,
Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan Keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang
Maha Perkasa, Yang 3 Maha Kuasa, Yang Memiliki segala Keagungan, Maha Suci
Allah dari apa yang mereka persekutukan(23)Dialah Allah Yang Menciptakan,
Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Asmaaul Husna. Bertasbih
kepada-Nya apa yang di langit dan bumi. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana.” 3.
Penafsirat ayat Alquran dengan
hadis Nabi Saw Ayat-ayat Alquran lebih banyak yang bersifat global (mujmal)
daripada yang terperinci (tafshil). Untuk dapat memahami kandungannya tidak
bisa hanya dari ayat tersebut. Oleh karena itu, di sinilah hadis Nabi Saw
berfungsi sebagai tafsir terhadap ayat-ayat Alquran. Misalnya, ayat tentang
perintah salat disampikan dalam Alquran secara umum tanpa menyertakan
penjelasan tatacaranya. Berikut bunyinya: Artinya: "Dan dirikanlah sholat, tunaikan zakat dan
rukuklah bersama orang-orang yang ruku”. (QS. Al-Baqarah: 43) Ayat tersebut
kemudian ditafsirkan oleh hadis Nabi Saw: Artinya: “Salatlah sebagaimana kalian melihat aku sholat,
maka apabila telah tiba waktu sholat hendaklah salah seorang di antara kalian
mengumandangkan azan dan orang yang lebih tua di antara kalian menjadi imam.”
(HR. Bukhari) 4.
Penafsirat ayat Alquran dengan
keterangan sahabat Nabi saw. dan tabi’in. Setelah mendapatkan penjelasan
melalui riwayat hadis, kemudian bisa diperkaya dengan penjelasan para sahabat
dan tabi’in. Keterangan dari para sahabat atau tabi’in penting karena mereka
adalah orang-orang yang dekat 4 bersama Nabi Saw dan sangat memahami situasi
dan kondisi bagaimana Alquran itu diturunkan. Contohnya seperti tafsir
terhadap Surat al-Baqarah )QS 2: 3): Artinya: “(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib…” 5.
Tafsir bi al-Ra’y atau tafsir bi
al-Dirayah Al-Ra’y berarti pikiran atau nalar, karena itu tafsir bi al-ra’y
adalah penafsiran seorang mufassir yang diperoleh melalui hasil penalarannya
atau ijtihadnya, di mana penalaran sebagai sumber utamanya. Seorang mufassir
di sini tentu saja adalah orang yang secara kompeten keilmuannya dan telah
dianggap telah memenuhi persyaratan sebagai mufassir. Istilah tafsir bi
al-ra’y pada dasarnya muncul untuk membedakan dengan tafsir bi al-ma’tsur.
Perbedaan tersebut dalam konteks bahwa bukan berarti secara operasional dalam
melakukan penafsiran Alquran para sahabat tidak menggunakan nalar, melainkan
karena keistimewaan mereka yang tidak dimiliki oleh generasi sesudahnya
(Shihab, 2013: 363). Sehingga sekalipun para sahabat sebagai generasi awal
penerima Alquran menafsirkan Alquran dengan nalar dan bimbingan nabi, maka
ulum al-qur’an tidak menyebutnya dengan tafsir bi al-ra’y. 6.
Tafsir bi al-Isyarah atau Tafsir
Isyari Tafsir Menurut bahasa kata isyari berasal dari kata
asyara-yusyiru-isyaratan yang berarti memberi isyarat atau tanda dan berarti
pula menunjukkan. Sedangkan menurut istilah tafsir isyari adalah suatu upaya
untuk menjelaskan kandungan Alquran dengan menakwilkan ayat-ayat sesuai isyarat
yang tersirat dengan tanpa mengingkari yang tersurat atau zahir ayat
(al-Zahabi, 1976: 352). Senada dengan definisi tersebut menurut Shubhi
al-Shalih tafsir isyari berarti menjelaskan kandungan Alquran melaui takwil
dengan cara menggabungkan yang tersurat dan tersirat. Secara lebih spesifik
M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa dalam tafsir isyari terdapat upaya
penarikan makna ayat yang didasarkan pada kesan yang ditimbulkan oleh lafaz
ayat, di mana dalam benak para mufassir telah memiliki pencerahan batin atau
hati dan pikiran. Hal itu dilakukan tanpa mengabaikan atau membatalkan makna
secara lafazh (Shihab, 2013: 373). 7.
Abdul Wahid (Wahid, 2020)
menyebutkan syarat-syarat diterimanya sebuah tafsir isyari sebagai berikut:
1. Tidak bertentangan dengan makna lahir (pengertian tekstual) Alquran. 2.
Penafsirannya didukung atau diperkuat oleh dalil-dalil syara’ lainnya. 3.
Penafsirannya tidak bertentangan dengan dalil syara‘ atau rasio. 4.
Penafsirannya tidak menganggap bahwa hanya itu saja tafsiran yang dikehendaki
Allah, bukan pengertian tekstual ayat terlebih dahulu. 5. Penafsirannya tidak
terlalu jauh sehingga tidak ada hubungannya dengan lafadz. Sebagai contoh
untuk penafsiran dengan pendekatan isyari ini seperti penafsiran al-Alusi
terhadap surat Al-Baqarah (QS 2: 238) sebagai berikut: Artinya: “Peliharalah salat-salat dan salat wustha serta
tegakkan untuk Allah karena ketaatan.” Al-Alusi menafsiri al-salat al-wustha pada ayat di atas
dengan penjelasan lima macam shalat sebagai berikut: Artinya : “Sesungguhnya shalat itu ada lima, yaitu 1)
Shalat sirr dengan menyaksikan maqam ghaib, 2) shalat nafs, yaitu dengan cara
memadamkan hal-hal yang dapat mengundang keragu-raguan, 3) Shalat qalb,
dengan senantiasa berada dalam penantian akan munculnya cahaya kasyf
(penyingkapan), 4) shalat ruh dengan menyaksikan wasl (pengabungan/peyatuan
dengan Allah); 5) Shalat badan dengan cara memelihara panca indera dan
menegakkan ketentuanketentuan hukum Allah.” 8.
Metode Tahlili (Analitis) Metode
tahlili adalah suatu metode dalam menjelaskan ayat Alquran dengan cara
menguraikan ayat demi ayat, surat demi surat, sesuai tata urutan dengan
penjelasan yang cukup terperinci sesuai dengan kecenderungan masing-masing
mufassir terhadap aspek-aspek yang ingin disampaikan. Misalnya, menjelaskan
ayat disertai aspek qira’at, asbab al-nuzul, munasabah, balaghah, hukum dan
lain sebagainya. Contoh kitab tafsir yang disusun dengan metode ini adalah
kitab Tafsir Jami li Ahkam Alquran karya al-Qurtubi, kitab Tafsir Jami’
al-Bayan fi Tafsir Alquran karya Ibnu Jarir at-Thabari, Tafsir Alquran
al-Adzim karya Ibnu Katsir dan kitab Tafsir Alquran alKarim karya at-Tusturi.
Berikut adalah contoh penafsiran dalam kitab tafsir Ibnu Katsir terhadap
Surat al Ahzab ayat 30: Artinya: “Hai istri-istri Nabi, siapa-siapa di antaramu
yang mengerjakan perbuatan keji yang nyata, niscaya akan dilipatgandakan
siksaan kepada mereka dua kali lipat. Dan adalah yang demikian itu mudah bagi
Allah.” 9.
Metode Ijmali (Global) Metode
ijmali adalah sebuah metode dalam menjelaskan ayat Alquran dengan cara
mengemukakan makna yang bersifat global dengan bahasa yang ringkas supaya
mudah dipahami. Di sini mufassir menjelaskan pesan-pesan pokok dari ayat
secara singkat tanpa menguraikan panjang lebar. Metode ini seperti yang lazim
dilakukan oleh Jalal alDin al-Suyuthi dan Jalal al-Din al-Mahalli dalam
kitabnya Tafsir Jalalain dan Muhammad Farid Wajdi dalam Tafsir Alquran
al-Azhim. Berikut adalah contoh penafsiran surat al-Fatihah ayat 3-7 dalam
kitab Tafsir Jalalain : Dalam penafsiran di atas tampak sekali disampaikan secara
singkat dan global, misalnya kata al-rahman dan al-rahim dengan makna yang
memiliki rahmat. Maksudnya yaitu yang berkehendak memberikan kebaikan kepada
yang berhak mendapatkannya. Setelah itu, kemudian berganti kepada ayat
berikutnya dan begitu seterusnya. Inilah tafsir dengan metode ijmali. 10.
Metode Muqaran (Komparatif)
Metode muqaran adalah metode menjelaskan ayat-ayat Alquran dengan
membandingkan dengan ayat lain yang memiliki kedekatan atau kemiripan tema
namun redaksinya berbeda; atau memiliki kemiripan redaksi tetapi maknanya
berbeda; atau membandingkannya dengan penjelasan teks hadis Nabi Saw,
perkataan sahabat maupun tabi’in. Di samping itu, metode ini juga mengkaji
pendapat para ulama tafsir kemudian membandingkannya. Bisa juga berupa
membandingkan antara satu kitab tafsir dengan kitab tafsir lainnya agar
diketahui identitas corak kitab tafsir tersebut. Tafsir Muqaran dapat juga
berbentuk perbandingan teks lintas kitab samawi, seperti Alquran dengan
Injil/Bibel, Taurat atau Zabur (Ar-Rumi, 1419 H: 60) 11.
Metode Maudhu’i (Tematik) Metode
terakhir yang lazim digunakan dalam menafsirkan Alquran adalah metode
maudhu’I atau metode tematik. Metode ini berupaya menjelaskan ayat-ayat
Alquran dengan mengambil suatu tema tertentu. Kelebihan metode ini mampu
menjawab kebutuhan zaman yang ditujukan untuk menyelesaikan suatu
permasalahan, praktis dan sistematis serta dapat menghemat waktu, dinamis
sesuai dengan kebutuhannya, serta memberikan pemahaman Alquran tentang satu
tema menjadi utuh. Namun kekurangannya bisa jadi dalam proses inventarisasi
ayat-ayat setema tidak tercakup seluruhnya, atau keliru dalam mengategorikan
yang akhirnya membatasi pemahaman ayat. 12.
Al-Farmawi (al-Farmawi: tth, 62)
telah merinci langkah-langkah yang harus ditempuh oleh seorang mufassir
ketika melakukan proses penafsiran menggunakan metode tematik, sebagai
berikut: a. Menetapkan masalah yang akan dibahas. Permasalahan yang dibahas
diprioritaskan pada persoalan yang menyentuh kehidupan masyarakat yang
berarti bahwa seorang mufassir harus memiliki pengetahuan yang memadai
tentang masyarakat. b. Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah
tersebut. c. Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya, disertai
pengetahuan tentang asbab nuzulnya dan ilmu-ilmu lain yang mendukungnya. d.
Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam suratnya masing-masing. Hal ini
terkait erat dengan ilmu munasabat. e. Menyusun pembahasan dalam kerangka
yang sempurna (membuat out line). f. Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis
yang relevan dengan pokok bahasan. g. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara
keseluruhan dengan jalan menghimpun ayatayatnya yang mempunyai pengertian
yang sama atau mengkompromikan antara yang ‘amm (umum) dengan yang khash
(khusus), mutlak dan muqayyad (terikat), atau yang tampak pada lahirnya
bertentangan sehingga seluruhnya dapat bertemu dalam satu muara tanpa
perbedaan dan pemaksaan makna. |
2 |
Daftar materi bidang studi yang sulit dipahami pada modul |
1.
Tafsir jalalain : |
Komentar
Posting Komentar